Dalam alur misterius kehidupan, kita bagaikan pelancong yang melintasi sungai waktu, bertemu dengan jiwa-jiwa lain di tepian yang tak pernah kita duga. Ada kalanya, arus membawa kita pada pertemuan yang terasa seperti harmoni kosmik—seperti dua nada yang selaras dalam simfoni alam semesta. Namun, lebih sering, kita mendapati diri terdampar di persimpangan yang tak sesuai harapan, di mana hati bertanya, “Mengapa bukan dia yang ditakdirkan?” atau “Mengapa waktu ini begitu keliru?” Inilah dualitas kehidupan: pertemuan dengan yang “tepat” adalah anugerah langka, sementara yang “tak tepat” adalah cermin yang mengajarkan kita untuk melihat.
Filosofi kehidupan mengajarkan bahwa setiap pertemuan, entah selaras atau penuh disonansi, bukanlah kebetulan semata. Dalam pandangan Heraclitus, “Kita tidak pernah melangkah ke sungai yang sama dua kali,” karena segalanya mengalir, berubah, dan berpindah. Orang yang hadir dalam hidup kita, baik yang membawa kehangatan maupun yang meninggalkan luka, adalah bagian dari aliran itu. Mereka adalah guru tanpa nama, membawa pelajaran yang tak selalu kita inginkan, namun selalu kita butuhkan. Yang “tepat” mengajarkan kita tentang cinta, kebersamaan, dan keindahan kebersatuan. Yang “tak tepat” mengajarkan kita tentang ketabahan, pengampunan, dan keberanian untuk melepaskan.
Keindahan hidup terletak pada ketidaksempurnaannya. Jika setiap pertemuan adalah dengan yang “tepat,” mungkin kita akan lupa bagaimana menghargai. Seperti bunga yang hanya mekar di musim tertentu, kehadiran jiwa yang selaras adalah momen langka yang mengingatkan kita akan keajaiban. Namun, seperti daun yang gugur di musim gugur, pertemuan yang tak sesuai harapan mengajarkan kita tentang keterpisahan dan keberlanjutan. Dalam filsafat Tao, ada keseimbangan dalam segala hal: yin dan yang, terang dan gelap, pertemuan dan perpisahan. Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan tanpa pernah menyapa kesedihan, sebagaimana kita tidak dapat memahami kebersamaan tanpa merasakan kehilangan.
Pertanyaan besar dalam hidup bukanlah “Mengapa kita bertemu dengan yang tak tepat?” melainkan “Apa yang dapat kita pelajari dari setiap pertemuan?” Dalam pandangan eksistensialis seperti Sartre, hidup adalah kanvas kosong yang kita isi dengan makna. Orang-orang yang melintas dalam hidup kita—entah untuk sehari, setahun, atau selamanya—adalah kuas yang membantu kita melukis. Mereka mungkin tidak selalu membawa warna yang kita inginkan, namun setiap goresan mereka membentuk karya agung yang unik: diri kita sendiri.
Maka, hiduplah dengan hati yang terbuka, seperti langit yang merangkul awan, baik yang membawa hujan maupun yang menghiasinya dengan pelangi. Terimalah setiap pertemuan sebagai bagian dari tarian kosmik, di mana langkah-langkah yang salah pun adalah bagian dari koreografi. Karena dalam setiap helai napas, dalam setiap detik kebersamaan atau perpisahan, kehidupan berbisik: semua yang kau temui adalah cermin, dan semua yang kau pelajari adalah jalan menuju kebijaksanaan.
0 comments:
Post a Comment
Bila ada yang ingin didiskusikan, silahkan tulis komentar!